Saturday, April 9, 2011

Playstation Portable (PSP)


Playstation Portable (secara resmi disingkatPSP), adalah sebuah  konsol permainan genggam-tangan (handheld) yang dibuat oleh Sony Computer Entertainment. Pembuatan konsol ini pertama kali diumumkan dalam acara E3 2003, dan diluncurkan pada tanggal 11 Mei 2003 dalam sebuah konferensi pers Sony sebelum E3 2004 dimulai. Peluncuran resmi PSP di Jepang dilakukan pada 12 Desember 2004, di Amerika Utara pada 24 Maret 2005, di daerah Asia pada Mei 2005 dan di Eropa pada akhir 2005.
PSP merupakan semacam platform hiburan dan diposisikan untuk memainkan permainan video, film dan musik, serta menampilkan foto digital. PSP merupakan konsol permainan pertama yang menggunalan Universal Media Disc (UMD) sebagai media penyimpanannya melainkan menggunakan cartridge  ROM solid yang konvensional. UMD memiliki ukuran fisik yang lebih kecil daripada CD biasa namun berkapasitas lebih besar hingga 1,8 GB. Selain itu, PSP juga mempunyai dukungan Memory Stick Sony (PRO Duo), fitur dukungan jaringan nirkabel Wi-Fi, baterai yang dapat diisi ulang serta dilepas, layar LCD lebar, dan stik analog panel datar yang dapat disorong keluar. Fitur jaringan PSP mendukung konektivitas konsol ini dengan Playstation 3, PSP lainnya, dan internet.
Saat peluncurannya, PSP dianggap sebagai konsol permainan genggam-tangan dengan fitur dan kemampuan multimedia yang superior.
Yang namanya game saat ini sudah bisa dibilang sebagai mainan universal. Mulai dari balita, anak muda sampai dengan orang dewasa pun sudah tidak merasa asing lagi dengan yang namanya game. Jika dahulu orang mungkin hanya mengenal GameWatch atau pun GameBoy, kini orang dapat memilih beragam media permainannya. Untuk bermain game, saat ini kita tinggal memilih, ingin memakai komputer desktop saja (PC) atau melalui laptop, atau dapat juga melalui perlengkapan game pabrikan seperti PlayStation atau Xbox. Bahkan saat ini PlayStation juga telah mengeluarkan perlengkapan game-nya tersebut dalam versi personal, yang disebut PSP. Sepintas, PSP sendiri mungkin mengingatkan kita pada era GameBoy, dimana sebuah game dapat dimainkan dimana pun melalui sebuah alat yang ukurannya hanya agak lebih besar dari sebuah handphone. Perlengkapan pendukung permainan yang ditawarkan pun sekarang sangat beragam, mulai dari mouse & keyboard standart, QuickCam, headset, joystick, gamepad, racing wheel, PlayGear, dan lain sebagainya.

Seolah ingin semakin dapat terserap dengan baik oleh semua kalangan usia, game pun dibuat dengan berbagai tingkat kesulitan. Mulai dari level ‘Beginner’ sampai dengan ‘Advance’-pun dibuat untuk disesuaikan dengan tingkat kemahiran si pemain. Kalau sudah begini, maka game-pun mungkin juga sudah dapat dimainkan oleh balita hingga orang dewasa. Masing-masing telah dibuatkan porsi permainan mereka
Di jaman sekarang kan kita lihat udah banyak banget yang namanya video game...
Terlebih untuk anak-anak jaman sekarang... saya lihat banyak sekali yang kemana-kemana bawa game boy/ psp/ ds....
Jadi jarang bermain kejar-kejaran seperti anak jaman dulu lagi (yang saya lihat lumayan menyehatkan kadang-kadang)
Dan tak kalah banyaknya mahasiswa/i / murid SMP dan SMA yang sering bermain ke warnet....
Bahkan ada juga karyawan kantoran yang masih sering bermain game....

Pada mulanya, video games atau sejenisnya diciptakan hanya sekadar untuk mengisi waktu luang misalnya sedang menggu, dan sebagainya. Jenis ini dikenal dengan istilah dingdong. Karena itu, penempatannya pun hanya di pusat-pusat perbelanjaan atau di gedung-gedung bioskop dan pusat keramaian. Namun kenyataannya, kehadiran dingdong ini banyak disalahgunakan, misalnya saja didirikan di dekat sekolah dan di tempat-tempat yang kurang la Di jaman sekarang kan kita lihat udah banyak banget yang namanya video game...
Terlebih untuk anak-anak jaman sekarang... saya lihat banyak sekali yang kemana-kemana bawa game boy/ psp/ ds....
Jadi jarang bermain kejar-kejaran seperti anak jaman dulu lagi (yang saya lihat lumayan menyehatkan kadang-kadang)
Dan tak kalah banyaknya mahasiswa/i / murid SMP dan SMA yang sering bermain ke warnet. Barangkali ini salah satu pencetus anak membolos dari sekolahnya. Bahkan ada juga karyawan kantoran yang masih sering bermain game....
Apakah permainan anak2 saat ini seperti PSP, Nintendo dll membentuk mereka menjadi pribadi yang individualis?
Bandingkan dengan jaman dulu, saat teknologi belum secanggih ini, anak-anak masih bermain berkelompok, seperti main karet, main petak benteng, petak umpet, dll. Sekarang, mereka lebih suka menyendiri dan main dengan komputer, PSP, Nintendo dll.
Teknologi
sekarang, seperti rumah yang megah tetapi memiliki pondasi yang lemah...
memang banyak teknologi yang semakin canggih menjadikan anak menjadi semakin aktif, cerdas cepat dewasa tetapi tidak mandiri...akan susah bagi anak untuk menghadapi tantangan kehidupan karena otak yang cerdas tidak dibarengi dengan mental yang kuat, sehingga kita bisa melihat anak-anak sekarang yang cenderung mudah depresi, bunuh diri, dll. Sosialisasi dengan orang lain juga menjadi kurang sehingga anak kurang bisa memahami keadaan sekitar dan menuntut orang tua selalu bisa memberikan apa yang menjadi keinginan mereka. Permaianan demikian akan membentuk pribadi yang individualis,  karena dia harus berdiri sendiri dan tidak mambutuhkan teman bahkan yang dibutuhkan adalah lawan. Tetapi disisi lain akan membentuk pribadi yang mandiri, jadi diperlukan permainan yang membutuhkan kekompakan team untuk menyeimbangkannya. Misalnya diberikan permainan yang membutuhkan teman dan bisa berinteraksi dengan teman. Disinilah letak peran orang tua untuk dapat memberikan pendidikan yang baik tanpa harus menjadi ekstrem (melarangnya sama sekali atau membolehkannya karena unsur supaya tidak dibilang kuno dan ketinggalan teknologi).
Menurut psikolog Seto Mulyadi alias Kak Seto, permainan ini dimaksudkan untuk merangsang kecepatan bereaksi. Tapi parahnya, permainan itu mampu membuat anak kecanduan. Dengan sendirinya anak akan lupa belajar, makan, dan sebagainya. Ini tentu saja akan mengganggu fisik dan mental si anak.

 Positif-Negatif
Sosiolog dari UI, Dra. Siti Hidayati, menilai video games cukup gawat pengaruhnya pada sosialisasi anak. Dalam proses sosialisasi, anak butuh teman sebaya untuk bermain. Bermain di sini diartikan sebagai proses belajar bermasyarakat. Ini pasti perlu ruang dan waktu. Konyolnya, katanya, lahan bermain makin lenyap, sementara waktu pun hilang begitu saja di depan layar video games.
“Dalam permainan ini, anak berhadapan dengan benda mati. Jadi, tak ada interaksi yang kreatif,” papar Siti seraya menambahkan, akhirnya tersimpulkan bahwa di situ tak ada interaksi kreatif dalam diri anak. “Cepat atau lambat, hal ini akan mengikis proses sosialisasi anak sebelum akhirnya mengambil peran dalam masyarakat,” katanya.
Prof. Dr. Utami Munandar, psikolog, mengingatkan bahwa dampak buruk yang bisa ditimbulkan akibat kecanduan permainan ini adalah melemahnya fisik dan psikis, tanpa disadari anak. Rentetan berikutnya, menyebabkan anak kekurangan energi dan melemahnya konsentrasi. Maka, jangan heran jika sewaktu-waktu nilai di rapor anak menurun, dan tidak usah kaget bila tiba-tiba seorang anak berubah jadi pemarah dan mudah tersinggung. “Memang pengaruhnya besar sekali terhadap perkembangan inteligensia anak-anak,” ujar Utami.
Sejauh permainan itu belum membuat kecanduan, Dra. Shinto B. Adelar, M.Sc, sekretaris jurusan Psikologi Perkembangan UI melihat adanya dua sisi — positif dan negatif — dalam video games. Dampak positif yang ditimbulkan permainan ini adalah belajar menemukan strategi. Dalam video games anak dirangsang menemukan atau mencapai score tertinggi, dengan sendirinya ia mempelajari setiap kesalahan yang telah diperbuat. Score itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas jerih payah anak.
Selain itu, kata Shinto, masih ada segi positif lainnya, yakni melatih keterampilan tangan, koordinasi motorik mata dan tangan menjadi lebih terlatih. Segi lain adalah ketekunan. Namun “ketekunan” di sini dapat berarti buruk. Untuk sisi negatifnya, Shinto menilai video games bisa menumbuhkan sikap agresif. Contohnya, untuk mencari score tertentu ia harus menghancurkan lawan, dengan cara “membunuh” dan sebagainya. Hal ini, kata Shinto, bisa membingungkan anak bila tak dapat membandingkan antara permainan yang sifatnya fantasi dengan realitas kehidupan sekelilingnya.
Bagi saya segala macam game gak papa asal gak kecanduan...
Sekedar membunuh waktu dan refreshing..
Tetapi kalo untuk anak-anak, biasanya mereka kecanduan dan lupa belajar, nah itu sekarang yang menjadi masalah besar.
Apalagi ada game tertentu yang tidak cocok untuk anak-anak yang mengajarkan kekerasan misalnya. ada juga orang yang bersosialisasi melalui game.
Inggris - Orang tua sering paranoid jika buah hatinya bermain video game. Namun, seorang menteri Inggris justru menyarankan anak-anak untuk bermain video game, termasuk game brutal.

Tom Watson, nama menteri tersebut memiliki alasan tersendiri, mengapa dia menyarankan anak-anak bermain video game, termasuk bermain video game kekerasan. Menurutnya, melalui video game, anak-anak dapat memperoleh pelajaran berharga, daripada sekadar menonton televisi.

"Menurut saya, bermain video game adalah sesuatu yang baik. Saya lebih senang jika anak laki-laki saya bermain Wii daripada hanya pasif menonton televisi. Sebagian besar game bersifat mendidik, membuat kita berpikir, konsentrasi, menantang dan berubah," papar Watson, seperti dikutip detikINET dari Softpedia, Selasa (16/12/2008).

Sebagai contoh, Watson mengungkapkan bahwa anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun belajar berhitung dari sebuah game yang menggunakan karakter Teletubbies. Menteri Sekretaris Kabinet itu juga mencontohkan bahwa melalui game Runescape, anak dapat mengetahui proses membuat perunggu.

Jalan Keluar
Langkah yang perlu segera diambil yaitu bagaimana agar jangan sampai anak itu kecanduan. Sebab, kalau sudah kecanduan akan sulit mengarahkannya agar mau mengerti tentang akibat sampingan alat mainan itu. Utami maupun Shinto sependapat, menggiring anak pada kegiatan lain memang tidak mudah, tapi bagaimana pun ini adalah tugas orangtua dan mereka harus mampu memahami minat anaknya.
Sementara Shinto menawarkan kegiatan yang bisa menggiring anak meninggalkan permainan yang cukup berpengaruh itu atau menjauhkan mereka dari dingdong atau sejenisnya, yakni dengan mengikutkan pada kegiatan ekstra kurikuler. “Karena, menutup toko yang menyewakan atau menjual game watch tidaklah mungkin, tapi batasilah uang jajan anak-anak dan motivasi mereka untuk tidak terpengaruh untuk membeli sejenis mainan itu,” ujarnya.
Alternatif lain diungkapkan Siti Hidayati, yakni lebih menitikberatkan pada dihidupkannya kembali keterampilan tradisional di SD. Dari segi sosiologi keluarga, ia menekankan agar orangtua lebih menyadari perannya sebagai social agent bagi anak-anaknya. Orangtua harus mampu jadi teman bermain bagi anak-anaknya, sehingga komunikasi menjadi lancar dan anak tidak perlu lagi mencari kesibukan di luar rumah. Apalagi kenyataannya kini, anak-anak di kota seperti kehilangan tempat bermain, setelah semuanya berubah jadi pusat-pusat pertokoan dan perkantoran.
Tapi, menurut Kak Seto, yang paling efektif yaitu dengan membiasakan kembali mendongeng bagi anak-anak. Dalam era globalisasi kini, orangtua wajib berperan sebagai penyampai pesan (komunikator) bagi anak-anaknya dengan kegiatan mendongeng. Hal itu bisa dilakukan setelah ibunya pulang dari bepergian dengan menceritakan apa yang pernah dilihatnya atau juga oleh ayahnya ketika anaknya hendak tidur malam.
Dus, bukan hanya orangtua yang pegang peranan di sini, tetapi guru pun harus ikut aktif. Guru harus dapat menempatkan dirinya di tengah anak-anak yang masih dalam proses perkembangan dengan segala tantangannya agar anak didiknya merasa kerasan tinggal di kelas. Di samping itu, ketika di sekolah, guru hendaknya jangan hanya memberi PR yang sifatnya abstrak, tetapi hendaknya yang bersifat realistis, misalnya dengan menyuruh anak menyelidiki proses persemaian pada tumbuhan dan sebagainya.
Referensi:
http://albertgodlike.wordpress.com/2008/02/12/pengaruh-game-bwt-anak/
http://forum.detik.com/pengaruh-game-dalam-kehidupan-sosial-positif-negatif-t76071.html
http://dedenpunkrock.blogspot.com/2010/02/dampak-negative-game.html