Friday, March 30, 2012

Homoseksualitas

Pacarnya kok
‘sama’?
                                                                                                                      Cewek pacaran sama cewek
                      cowok pacaran sama cowok
                      Kenapa bisa gitu, ya?

Homoseksualitas obrolan yang memang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Semakin hari, makin banyak orang yang terbuka dan mengakui dirinya adalah seorang homoseksual. Meski banyak yang mulai terbiasa dengan keberadaan mereka, tapi ada juga yang tetap penasaran dengan pilihan yang diambil oleh kaum homoseksual. Kenapa sih bisa jatuh cinta sama sesama jenis? Hmm

  

Apa sih homoseksual?
Terminology atau definisi homoseksual tidak hanya diberlakukan buat cowok, sebenernya cewek yang hanya serr atau merasakan ketertarikan terhadap sesamanya juga termasuk dalam kategori homoseksual, tetapi di masyarakat umum istilah lesbianisme lebih dikenal untuk cewek yang suka sama cewek. Padahal arti Homo sendiri berarti sama, sejenis atau satu golongan.
Berarti homoseksual adalah orang yang merasakan atau hanya tertarik dengan jenis kelamin yang sama, kalo cewek suka sama cewek, sedangkan cowok suka sama cowok juga.

Lesbianisme
Lesbianisme dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai deviasi seksual, misalnya yang dilakukan di asrama-asrama putri atau rumah penjara, karena keadaan yang mendorong pelaku-pelakunya untuk berbuat demikian. Dalam keadaan normal mereka tidak melakukannya lagi. Dan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan lesbian pasif dan dapat terikat dalam pernikahan. Namun demikian banyak di antara mereka yang menunjukkan sikap dingin (frigid) dalam hubungan heteroseksual (perempuan-lelaki). Lesbian yang aktif tidak akan menikah, akan tetapi hanya pasangan yang sejenis kelaminnya saja. Frekuensi lesbianisme cukup tinggi, menurut Jeffcoate kira-kira 25% dan menurut Kinsey dkk kira-kira mencapai 28%.

Homoseksualitas pria (kaum gay)
Apa yang diuraikan bagi lesbianisme berlaku pula bagi homoseksualitas pada pasangan pria dengan pria. Cara pemuasan seksual sedikit berbeda, dimana seorang pria homoseksual dapat mencari obyek mangsanya di antara pria-pria yang tidak bertendensi homoseksual, bahkan di antaranya anak-anak dibawah umur, dengan rayuan-rayuan, janji-janji dan imbalan-imbalan material. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk menikah (cara ini ditempuh untuk menghindarkan imej negatif masyarakat pada dirinya) dan dikaruniai beberapa anak dan kemudian keinginannya untuk memuaskan diri secara homoseksual hilang. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang secara tersembunyi masih melakukan hubungan homoseksual. Karena pada dasarnya mereka termasuk dalam biseksual. Sering mereka menunjukkan gejala-gejala transvitisme, yaitu mengenakan pakaian wanita atau bermasturbasi sambil mengkhayalkan sedang bermesraan dengan seorang pria.

Penyebabnya macam-macam
Kalau mau cari tahu seseorang bisa suka sama sesama jenis, jawabannya bisa sangat beragam. Ada yang diakibatkan faktor mutasi genetika alias bawaan dari lahir yang susah untuk dihindari. Ada yang karena faktor sosial, seperti pada mereka yang cuma ikut-ikutan tren. Ada juga ahli yang bilang kalau homoseksualitas bisa disebabkan oleh factor psikologis, seperti karena patah hati atau pengalaman traumatic saat masih kecil. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap homoseksualitas, bisa berbeda-beda pada tiap orang. Karena itu, menurut Danny Irawan Yatim, psikolog dari UNIKA Atma Jaya, penyebabnya nggak bisa dipandang dari satu sisi. Soalnya dipengaruhi baik oleh faktor bawaan (biologis) dan juga faktor lingkungan, seperti pola asuh, budaya, sampai penerimaan masyarakat. Buat tiap orang penyebabnya memang nggak sama. 

Kadarnya juga bervariasi
Awalnya, para ahli mengelompokkan homoseksual sebagai penyakit. Namun, pada tahun 1973, para dokter dan psikolog mencoret homoseksual dari daftar penyakit kejiwaan dan memasukkannya sebagai bagian dari orientasi seksual seseorang. Homoseksualitas selain nggak menular, juga nggak bisa dilihat hanya dari sisi fisiknya saja. Misalnya, nggak semua cewek tomboy itu lesbian atau semua cowok feminine adalah gay. Banyak juga kok cewek girly yang homoseksual. Sebaliknya, ada juga cewek tomboy yang heteroseksual. Bicara tentang orientasi seksual, tiap orang ternyata punya ‘tingkatan’ orientasi yang berbeda-beda. Seorang peneliti seksual, Alfred Kinsey, bilang kalau orientasi seksual tuh nggak cuma terdiri dari homoseksual ‘murni’ dan heteroseksual ‘murni’ saja. Karena di antara kedua ‘titik kemurnian’ ini, ada beberapa titik lain yang saling berpengaruh. Makanya kadang ada heteroseksual yang sering berfantasi pacaran dengan teman sesame jenis. Sebaliknya, ada juga homoseksual yang punya pacar heteroseksual (biasa disebut biseksual).
Buat kita yang masih asyik mencari identitas diri, ‘posisi’ orientasi seksual ini ternyata masih terus berkembang. Karena itu, kalau kita ketemu teman yang kayaknya suka sesama jenis, kita nggak bisa buru-buru men-judge dia sebagai homoseksual ‘murni’. “Umumnya, seksualitas itu baru benar-benar ‘mantap’ di usia 19 tahunan. Tapi sangat bervariasi buat tiap orang. Yang baru yakin dengan seksualitasnya setelah berumur 30 tahun juga ada,” jelas Danny lagi.

Susahnya coming out
Coming out adalah istilah untuk proses ketika seseorang sudah berani untuk mengakui dirinya homoseksual. Menurut Richard Niolon,Ph.D., proses coming out terdiri dari 5 tahap. Yang pertama adalah ketika ia baru mulai merasa dirinya homoseksual (biasanya di masa remaja). Lalu tahap berikutnya adalah ketika ia mulai terbuka dan berani curhat kepada orang lain, kayak sahabat atau konselor. Di dua tahap ini, biasanya muncul rasa bersalah yang besar karena pengaruh imej yang dibentuk oleh lingkungan.
Nah, tahap selanjutnya adalah bergaul dengan homoseksual lain, yang kemudian diikuti oleh tahap penilaian diri secara positif. Jika seseorang sudah sampai ke tahap ini, maka ia akan lebih mudah memasuki tahapan yang terakhir, yaitu penerimaan diri secara penuh. Namun, untuk berada di tahapan terakhir ini nggak mudah buat mereka. Apalagi banyak orang yang masih sering menganggap negatif keberadaan homoseksual. Akhirnya banyak kaum homoseksual merasa rendah diri dan membenci keadaan dirinya.
Tanpa sadar, mungkin kita pun mulai men-judge para homoseksual secara sepihak. Padahal itu artinya kita sedang menyakiti perasaan mereka dan bikin proses coming out mereka menjadi semakin sulit. Bahkan, menurut Danny, ada penelitian yang bilang kalau sebagian besar masalah kejiwaan (klinis) yang dihadapi para homoseksual disebabkan oleh besarnya tekanan sosial dari masyarakat, yang membuat mereka menjadi stres dan terbebani. 

Ini pilihan mereka
Di negara kita, homoseksualitas masih dianggap sesuatu yang ‘tabu’ dan belum bisa diterima dengan tangan terbuka. Namun bagaimanapun juga, orientasi seksual adalah masalah pilihan. “It’s like another choices. Sama seperti kalau kita memilih masuk jurusan IPA atau IPS. Keduanya pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan buat diri kita. Jika kita akhirnya memilih suatu ‘jurusan’, kita harus bisa menanggung resikonya. Dan kita pun harus bisa menghormati orang-orang yang memilih ‘jurusan’ yang berbeda dengan kita,” jelas Ninuk Widyantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan.
Kita tetap harus menghargai seseorang apa adanya, bukan karena orientasi seksualnya. “Nilai seseorang berdasarkan pribadinya, sehingga kita akan sadar kalau para homoseksual sama saja dengan kita. Rasa cinta mereka terhadap sesama jenis pun sama dengan yang dirasakan heteroseksual terhadap lawan jenis. Dan, sekali lagi, itu merupakan pilihan,” kata Ninuk lagi.

Rahasia BESAR-ku    
Ini salah satu contoh kasus homoseksualitas yang dengan gamblangnya menceritakan masalah kepribadiannya. Check it out.
Nama gue Imelda Taurina Mandala. Gue seorang fotografer yang punya rahasia besar yang ingin gue bagi. Rahasia ini, sudah gue pendam sejak kelas 3 SD, saat gue menyadari bahwa gue suka sama sesama cewek. Terus terang, waktu itu gue belum tahu kalau perasaan suka yang gue rasakan itu berbeda dengan rasa sayang sama ortu atau orang lain. Baru sekitar SMP gue tahu ada istilah lesbian (homoseksual) dan artinya sangat negatif.
Gue baru mengenal istilah itu dari kakak gue yang sering ngeledekin gue lesbian. Mungkin karena penampilan gue yang tomboy ini, ya. Saat itu gue marah sekaligus takut banget karena sebutan itu rasanya bikin gue serasa orang yang paling berdosa dan bersalah sedunia. Selain itu, gue takut hal-hal buruk yang dapat menimpa gue kalau sampai berani jujur. Gue nggak bisa ngebayangin respon ortu gue, mereka pasti shock  kalau tahu ada anak ceweknya yang lesbian!
Karena itu, gue minyimpannya rapat-rapat. Padahal saat itu, gue juga merasa bingung banget dengan diri sendiri dan parahnya gue nggak bisa minta bantuan ke siapapun. Kadang gue menangis diam-diam, saking bingungnya. Gue bahkan nggak menceritakan ‘rahasia’ ini sama sobat terdekat gue. Dan hal ini semakin bikin gue menderita, karena gue nggak bisa menjadi diri gue yang sebenarnya. I feel like cheating myself… dan itu rasanya sakit banget.
Di sekolah gue tetap bungkam, walaupun semakin banyak orang yang curiga bahkan menuduh gue lesbian karena gue selalu mengelak kalu ngomongin cowok. Pernah ketika gue ikut acara keagamaan di sekolah, nggak ada satu pun teman cewek yang mau sekamar sama gue! Gilak, rasanya sakit banget sampai bikin gue mau nangis. Untungnya, ada satu temen cewek gue yang nggak percaya gosip dan mau sekamar sama gue. Gue belajar arti sahabat sejati dari dia dan dia tetap jadi sobat baik gue walaupun akhirnya dia tahu rahasia gue yang sesungguhnya.
Gue akhirnya memilih untuk coming out karena gue nggak mau lagi hidup dalam ketakutan dan membohongi diri sendiri. Orang yang pertama gue beritahu adalah teman sekelas gue itu dan thank God dia bisa menerimanya dengan baik dan tetap mau sobatan sama gue. Wah, lega banget rasanya…
Tapi, proses ini nggak segampang yang gue kira lho. Masih banyak masalah yang harus gue hadapi. Gue harus menghadapi penolakan dari keluarga, bahkan nyokap sampai mengancam mau bunuh diri dan minta gue berubah. Begitu pula dengan lingkungan sekitar gue karena masyarakat kita masih sering salah sangka tentang lesbian dan selalu mengaitkannya dengan free sex, drugs, AIDS dan sebagainya. Padahal, kenyatannya nggak begitu!
Kita memang cenderung takut terhadap hal-hal yang nggak kita kenal dan ketahui. Makanya, gue selalu terbuka kalau ada teman, pihak keluarga atau lingkungan lain yang ingin menyampaikan uneg-uneg mereka tentang lesbian atau ngobrol sama gue biar nggak salah paham. Karena menurut gue, kita harus menghargai semua orang, tanpa memedulikan harta, jabatan, suku, agama ataupun pilihan hidup yang ia ambil dan percayai.
 




Tuesday, March 20, 2012

Kesehatan Mental


Dalam semester 4 di jurusan Psikologi ini saya mendapat mata kuliah Kesehatan Mental yang pengajarannya berupa softskill, serta dibimbing oleh Henny Regina Salve, MPsi, Psi. atau yang lebih dikenal dengan Kak Egi. Dalam pertemuan pertama, kami mendiskusikan apa itu kesehatan mental. Sehat? Tidak sakit secara fisik, pikiran dan jiwa. Mental? Psikis atau jiwa. Jadi, kesehatan mental adalah sehat secara psikis ataupun jiwa.

Berikut beberapa pengertian tentang kesehatan mental:
1.      Hadfield: ”upaya memeliharaan mental yang sehat dan mencegah agar mentak tidak sakit”. 
2.      Alexander Schneiders: ”suatu seni yang praktis dalam mengembangkan dan menggunakan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan mental dan penyesuaian diri, serta pencegahan dari gangguan-gangguan psikologis”. 
3.      Carl Witherington: ”ilmu pemeliharaan kesehatan mental atau sistem tentang prinsip, metode, dan teknik dalam mengembangkan mental yang sehat”.
4.      Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.
5.      M. Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan mental mendefinisikan kesehatan mental adalah kondisi seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri.
6.      Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.

Kesehatan mental tertentang dari yang baik sampai dengan yang buruk, dan setiap orang akan mengalaminya. tidak sedikit orang, pada waktu-waktu tertentu mengalami masalah-masalah kesehatan mental selama rentang kehidupannya. Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).

Kategori atau Penggolongan Kesehatan Mental
1.Gangguan Somatofarm
Gejalanya bersifat fisik, tetapi tidak terdapat dasar organic dan factor-faktor psikologis.
2.Gangguan Disosiatif
Perubahan sementara fungsi-fungsi kesadaran, ingatan, atau identitas yang disebabkan oleh masalah emosional.
3.Gangguan Psikoseksual
Termasuk masalah identitas seksual (impotent, ejakulasi, pramatang, frigiditas) dan tujuan seksual.
4.Kondisi yang tidak dicantumkan sebagai gangguan jiwa.
Mencakup banyak masalah yang dihadapi orang-orang yang membutuhkan pertolongan seperti perkawinan, kesulitan orang tua, perlakuan kejam pada anak.
5.Gangguan kepribadian
Pola prilaku maladaptik yang sudah menahun yang merupakan cara-cara yang tidak dewasa dan tidak tepat dalam mengatasi stres atau pemecahan masalah.
6.Gangguan yang terlihat sejak bayi, masa kanak-kanak atau remaja.
Meliputi keterbelakangan mental, hiperaktif, emosi pada kanak-kanak, gangguan dalam hal makan.
7.Gangguan jiwa organik
Terdapat gejala psikologis langsung terkait dengan luka pada otak atau keabnormalan lingkungan biokimianya sebagai akibat dari usia tua dan lain-lain.
8.Gangguan penggunaan zat-zat
Penggunaan alkohol berlebihan, obat bius, anfetamin, kokain, dan obat-obatan yang mengubah prilaku.
9.Gangguan Skisofrenik
Serangkaian gangguan yang dilandasi dengan hilangnya kontak dengan realitas, sehingga pikiran, persepsi, dan prilaku kacau dan aneh.
10.Gangguan Paranoid
Gangguan yang ditandai dengan kecurigaan dan sifat permusuhan yang berlebihan disertai perasaan yang dikejar-kejar.
11.Gangguan Afektif
Gangguan suasana hati (mood) yang normal, penderita mungkin mengalami depresi yang berat, gembira yang abnormal, atau berganti antara saat gembira dan depresi.
12.Gangguan Kecemasan
Gangguan dimana rasa cemas merupakan gejala utama atau rasa cemas dialami bila individu tidak menghindari situasi-situasi tertentu yang ditakuti.


Konsep sehat beserta dimensinya

Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhan-keluhan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk adalah orang yang sehat dan sebagainya”. Jadi factor subyektifitas dan cultural juga mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat.
Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan defenisi tentang sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki. Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan Sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi secara bergantian dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit. Konsep sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari. Terjadi sepanjang sejarah manusia. Dikenal oleh semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep sehat, World Health Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial.
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal dari sisi biologis, psikologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada. Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organo-biologik, psiko-edukatif dan sosial-budaya. Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Agama/spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).
b.Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan seterusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut.
c.Psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.
d.Sosial-budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.

Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental

Sejarah kesehatan mental diawali oleh pendirian rumah sakit mental pertama di AS tepatnya di Williamsburg, Virginia pada tahun 1773. Setelah itu Dorothe Dix seorang pionir wanita yang berusaha berjuang untuk merawat  dan menyembuhkan penderita penyakit gila dan gannguan mental. Dengan jasa-jasanya yang begitu banyak ia mengembangkan 32 rumah sakit di Amerika Serikat pada tahun 1840. Selain Dix, ada salah satu tokoh lagi yang cukup berjasa dalam kesehatan mental ini. Dialah Clifford Beers, ia pernah mengalami sakit mental dan diperlakukan buruk karena penyakitnya tersebut. Beers mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan dalam rumah sakit tersebut. ia sering mendapat pukulan-pukulan ataupun hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam. Setelah dua tahun dirawat, Beers pun sembuh. Pada tahun 1900, ia menjalankan aksi gerakan kesehatan mental dengan menerbitkan buku yang berjudul  "A Mind That Found itself". Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun satu program nasional, yang berisikan:
  1. Perbaikan dalam metode pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.
  2. Kampanye memberikan informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen dan lebih human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan mental.
  3. Memperbanyak riset untuk menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan terapi penyembuhannya.
  4. Memperbesar usaha-usaha edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan gangguan-gangguan emosi.
          Pada tahun 1930 Public Healt Service (PHS) dari US membentuk divisi narkotika,yang dinamakan divisi mental kebersihan. Mereka bertujuan untuk menyatukan dan mengobati serta memerangi kecanduan narkoba dan studi tentang prevelensi, penyebab, dan cara mencegah dan mengobati gugup dan penyakit mental. Tahun 1952 ditemukan pertama kali obat psikotropika yaitu Klorpromazin (Thorazine). berfungsi untuk memperbaiki kondisi konsumen dengan psikosis dan delusi. Di banak kasus, Thorazine meringankan gejala halusinasi, agitasi delusi dan gangguan pikiran.
         Beberapa tahun setelah itu tepatnya 1988, konsep kesehatan perilaku dikelola dari teori ke praktek. Massachusetts adalah negara bagian pertama yang memanfaatkan platform manage care sebagai kebutuhan kesehatan perilaku. Platform manage care didasarkan pada efisiensi dan efeksivitas dan berusaha mengambil keuntungan dari teknologi yang bermunculan.
           Akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene dan Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya.


Bagaimana pribadi seseorang dapat berkembang?

A. Sigmund Freud
Pandangan Freud terhadap psikologi khususnya berkenaan dengan kepribadian manusia lebih didasarkan pada ketidaksadaran dibandingkan dengan keadaan sadar atau unsur-unsur kesadaran seperti para psikolog di abad ke-XIX. Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagian kecil saja dari pada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan psiche itu sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada diatas permukaan air laut itu menggambarkan kesadaran ‘conscious’, sedangkan di bawah permukaan air laut yang merupakan bagian terbesar menggambarkan ketidaksadaran ‘unconscious’. Dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi (Suryabrata, 2002).
Freud juga menganggap kepribadian sebagai produk dari masa kanak-kanak manusia. Dalam aspek-aspek perkembangan kepribadian, Freud menekankan peranan yang menentukan dari tahun-tahun awal masa bayi dan kanak-kanak dalam meletakkan struktur watak dasar sang pribadi. Bagi Freud, kepribadian itu telah cukup terbentuk pada akhir tahun kelima, dan bahwa perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penggabungan terhadap struktur dasar itu (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

A. Struktur Kepribadian
Freud (dalam Hall and Lindzey, 1993) membagi struktur kepribadian ke dalam tiga sistem pokok, yakni: id, ego, dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanismenya sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit (tingkah laku hampir merupakan tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya dan menilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku hampir selalu merupakan produk dari interaksi diantara ketiga sistem tersebut; jarang salah satu sistem berjalan terlepas dari kedua sistem lainnya.
1. Id (The Id atau Das Es) disebut juga oleh Freud sebagai System der Unbewussten, merupakan sistem kepribadian yang asli dalam kepribadian (Freud dalam Suryabrata, 2002). Id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar dan merupakan kawasan dimana Eros dan Thanatos berkuasa. Disitu terdapat naluri bawaan, yakni seksual dan agresif, serta keinginan yang direpresi (Freud dalam Bertens, 2006). Id juga merupakan rahim tempat ego dan super ego berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir termasuk insting-insting. Id merupakan reservoir energi psikis dan menyediakan seluruh daya untuk menjalankan kedua sistem yang lain. Id berhubungan erat dengan proses-proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya. Freud juga menyebut id sebagai kenyataan psikis yang sebenarnya, karena id merepresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993). Id tidak bisa menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila tingkat tegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulasi dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam maka id akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan dan mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah dan konstan serta menyenangkan. Prinsip reduksi tegangan yang merupakan ciri kerja id ini disebut prinsip kenikmatan atau pleasure principle (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Untuk melaksanakan tugas menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki dua proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan refleks dan proses primer. Tindakan-tindakan refleks adalah reaksi-reaksi otomatatik dan bawaan seperti bersin dan berkedip, dan tindakan-tindakan refleks tersebut biasanya segera mereduksikan tegangan. Organisme dilengkapi dengan sejumlah refleks semacam itu untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan yang relatif sederhana. Sedangkan proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis yang sedikit lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan membentuk khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan tegangan tersebut. Misalnya, proses primer menyediakan khayalan tentang makanan kepada orang yang lapar. Pengalaman halusinatorik dimana objek-objek yang diinginkan ini hadir dalam bentuk gambaran dan ingatan yang disebut dengan pemenuhan hasrat (wish-fulfillment). Contoh proses primer yang paling baik pada orang normal ialah mimpi di malam hari, yang diyakini oleh Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan suatu hasrat. Halusinasi dan penglihatan pasien psikotik atau angan-angan sangat di warnai oleh pengaruh proses primer ini.
Gambaran-gambaran mentah yang bersifat memenuhi hasrat ini merupakan satu-satunya kenyataan yang dikenal id (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Jelas, proses primer sendiri tidak akan mampu mereduksikan tegangan. Orang yang lapar misalnya, ia tidak dapat memakan khayalannya tentang makanan. Karena itu, suatu proses psikologis baru atau sekunder berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur sistem kedua kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
2. Ego (The Ego atau Das Ich) di sebut juga System der Beweussten-Vorbewussten. Aspek ini adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan objektif (Freud dalam Suryabrata, 2002). Menurut Freud (dalam Bertens, 2006), ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktifitas ego bersifat sadar, prasadar, maupun tak sadar, namun sebagaian besar ego bersifat sadar, seperti persepsi lahiriah, persepsi batin, dan proses-proses intelektual. Sedangkan dalam aktifitas prasadar seperti fungsi ingatan, dan aktifitas tentang tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms).
Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan atau prinsip realitas (Realitatsprinzip, atau The Reality Principle), dan bereaksi mengikuti prinsip sekunder (Sekundar Vorgang atau Secondary Prosess). Tujuan prinsip kenyataan atau realitas adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara prinsip kenyatan atau realitas menunda prinsip kenikmatan, Meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dengan demikian tegangan direduksikan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993 dan Suryabrata, 2002).
Proses sekunder adalah berfikir realistik, dengan proses sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui suatu tindakan, untuk melihat apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang lapar berfikir dimana ia dapat menemukan makanan dan kemudian ia pergi ke tempat itu. Ini disebut dengan pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual; proses-proses jiwa ini dipakai untuk melayani proses sekunder (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Ego disebut juga eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan-jalan yang ditempuh untuk memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya, serta memilih objek-objek yang dapat memenuhi kebutuhan; didalam menjalankan fungsinya ini seringkali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego dan dunia luar. (Freud dalam Suryabrata, 2002).
Namun harus diingat ego merupakan bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannya, dan bahwa seluruh dayanya berasal dari id. Ego tidak terpisah dari id dan tidak pernah bebas sama sekali dari id. Peran utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya, dimana tujuan-tujuannya yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakkan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
3. Superego (The Superego atau Dus Ueber Ich) adalah aspek sosiologi kepribadian, yakni merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua kepada anak-anaknya, dan dilaksanakan dengan cara perintah dan larangan dan dengan memberikannya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman (Freud dalam Suryabrata, 2002 dan Hall and Lindzey, 1993). Dengan kata lain, superego adalah buah hasil internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang asing bagi anak akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari anak sendiri (Freud dalam Bertens, 2006). Superego adalah wewenang moral dari kepribadian, superego mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, serta memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian yang utamanya adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian superego dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarkat (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Superego sebagai wasit tingkah laku yang diinternalisasikan bekembang dengan memberikan respon terhadap hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan orangtua. Untuk memperoleh hadiah-hadiah dan menghindari hukuman-hukuman, anak belajar mengarahkan tingkah lakunya menurut garis-garis yang diletakkan orang tuanya. Apapun juga yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (Conscience), yang merupakan salah satu dari dua subsistem superego. Apapun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak karena melakukannya, akan cenderung menjadi ego-ideal anak, yang merupakan subsistem lain dari superego. Mekanisme yang menyebabkan penyatuan tersebut disebut introyeksi. Anak menerima atau mengintroyeksikan norma-norma moral dari orang tua. Suara hati menghukum orang dengan membuatnya merasa salah, ego-ideal menghadiahi orang dengan membuatnya merasa bangga. Dengan terbentuknya superego ini maka kontrol diri menggantikan kontrol orang tua (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Jadi, aktifitas dari superego menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dengan emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari superego. Bahkan menurut Freud, kompleks oedipus memainkan peranan besar dalam pembentukan superego (Freud dalam Bertens, 2006).
Fungsi-fungsi dari superego adalah; (1) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah impuls-impuls yang pernyataannya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan moralistis, (3) mengajarkan kesempurnaan. Jadi, superego cenderung untuk menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. Akan tetapi superego sama seperti id bersifat tidak rasional dan sama seperti ego, superego melaksanakan kontrol atas insting-insting. Tidak seperti ego, superego tidak hanya menunda pemuasan insting, akan tetapi superego tetap berusaha untuk merintanginya (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Mengakhiri deskripsi singkat tentang tiga sistem kepribadian ini, perlu diingat bahwa struktur kepribadian yakni id, ego, dan superego, bukanlah bagian-bagian yang menjalankan kepribadian, melainkan merupakan sebuah nama dari sistem struktur dan proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Biasanya sistem-sistem itu bekerja bersama sebagai tim yang menyatu, dibawah arahan ego. Kepribadian biasanya berfungsi sebagai suatu kesatuan dan bukan sebagai tiga bagian yang terpisah. Secara sangat umum id bisa dipanang sebagai komponen biologis kepribadian, sedangkan ego sebagai komponen psikologis dan superego sebagai komponen sosialnya (Freud dalam Alwisol, 2008 dan Hall and Lindzey, 1993).

B. Erick H. Erikson
Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merumuskan teori tahap-tahap perkembangan kepribadian manusia sesuai siklus hidupnya. Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Erikson memperhatikan pemikiran psikoanalisa dari Sigmund Freud dan pendekatan antropologi budaya yang dikembangkan oleh Margaret Mead dan Franz Boas. Menurut Erikson anak-anak dalam setiap sistem budaya akan belajar nilai yang berbeda, tujuan yang berbeda, serta beragam pengasuhan. Pengaruh ini membentuk bagaimana jiwa anak berkembang. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia. Teori itu juga diaplikasikan langsung baik pada perempuan maupun laki-laki. Sayangnya penerapan semacam ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan metodologis. Bila kita berbicara mengenai masalah generalisasi teori, maka teori Erikson seharusnya tidak digeneralisasikan secara universal. Apalagi menyangkut permasalahan jenis kelamin, sangat tidak tepat jika kasus perempuan dibahas dengan menggunakan teori Erikson.
Sebagian besar tahapan perkembangan yang dikemukakan Erikson merupakan hipotesis belaka. Hanya perkembangan masa kanak-kanak dan remaja yang didasarkan Erikson pada hasil penelitiannya. Mengenai tahapan perkembangan masa kanak-kanak, ia melakukan observasi terhadap anak-anak suku Sioux dan Yurok. Sedangkan mengenai remaja, ia melakukan analisis terhadap kehidupan tiga remaja putra. Dari observasi dan analisis itulah ia mengemukakan teorinya mengenai delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga lanjut usia, dalam buku pertamanya yang berjudul Childhood and Society pada tahun 1964.
Gagasan Erikson mengenai delapan tahap perkembangan manusia yang ditulisnya dalam buku tersebut banyak menerima kritik. 
Proses perkembangan kepribadian menurut Erik Erikson adalah sebuah proses yang berlangsung sejak masa bayi hingga usia lanjut. Proses perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (dorongan dari dalam diri) tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dilingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Menurut Erikson, dalam alih bahasa Fransiska dkk. 2008, kepribadian (terutama focus Erikson pada identitas) berkembang melalui 8 tahap yang saling berurutan sepanjang hidup.
Tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Erikson ini menggunakan tahapan perkembangan psikoseksual Freud sebagai dasar teorinya, hal ini terlihat dari lima tahapan pertama yang Erikson ajukan memperlihatkan krisis ego yang sama dengan tahapan psikoanalitik Freud.
Dalam setiap tahapan, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan

 
Tahap-tahap perkembangan kepribadian menurut Erikson: 

Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
  • Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
  • Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
  • Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
  • Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
  • Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
  • Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
  • Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
  • Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
  • Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
  • Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
  • Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
  • Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
  • Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
  • Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
  • Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
  • Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
  • Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
  • Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
  • Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
  • Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
  • Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
  • Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
  • Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
  • Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
  • Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
  • Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
  • Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
  • Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
  • Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
  • Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
  • Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
  • Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
  • Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
  • Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
  • Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
  • Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
  • Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
  • Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
  • Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
  • Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
  • Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
  • Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
  • Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
  • Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.



Kepribadian Sehat

Kesehatan mental merupakan faktor terpenting untuk menjalankan kehidupan manusia secara normal. Psikis manusia jika tidak dijaga akan menimbulkan suatu gangguan jiwa yang lambat laun bila dibiarkan akan menjadi suatu beban yang berat bagi penderitanya.
Individu yang sehat mentalnya adalah yang mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya, dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan konstruktif bagi pengembangan kualitas dirinya. pemanfaatan itu seperti dalam kegiatan-kegiatan belajar (dirumah, sekolah atau dilingkungan masyarakat), bekerja, berorganisasi, pengembangan hobi, dan berolahraga.
Orang yang sehat mentalnya menampilkan perilaku atau respon-responnya terhadap situasi dalam memenuhi kebutuhannya, memberikan dampak yang positif bagi dirinya dan atau orang lain. dia mempunyai prinsip bahwa tidak mengorbankan hak orang lain demi kepentingan dirnya sendiri di atas kerugian orang lain. Segala aktivitasnya di tujukan untuk mencapai kebahagiaan bersama.
Karakteristik pribadi yang sehat mentalnya juga dijelaskan pada tabel sebagai berikut (Syamsu Yusuf LN ; 1987).

ASPEK PRIBADI
KARAKTERISTIK
Fisik
Perkembangannya normal.
Berfungsi untuk melakukan tugas-tugasnya.
Sehat, tidak sakit-sakitan.
Psikis
Respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
Memiliki Insight dan rasa humor.
Memiliki respons emosional yang wajar.
Mampu berpikir realistik dan objektif.
Terhindar dari gangguan-gangguan psikologis.
Bersifat kreatif dan inovatif.
Bersifat terbuka dan fleksibel, tidak difensif.
Memiliki perasaan bebas untuk memilih, menyatakan pendapat dan bertindak.
Sosial
Memiliki perasaan empati dan rasa kasih sayang (affection) terhadap orang lain, serta senang untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan (sikap alturis).
Mampu berhubungan dengan orang lain secara sehat, penuh cinta kasih dan persahabatan.
Bersifat toleran dan mau menerima tanpa memandang kelas sosial, tingkat pendidikan, politik, agama, suku, ras, atau warna kulit.
Moral-Religius
Beriman kepada Allah, dan taat mengamalkan ajaran-Nya.
Jujur, amanah (bertanggung jawab), dan ikhlas dalam beramal.

Uraian diatas, menunjukan ciri-ciri mental yang sehat, sedangkan yang tidak sehat cirinya sebagai berikut :
  1. Perasaan tidak nyaman (inadequacy) 
  2. Perasaan tidak aman (insecurity) 
  3. Kurang memiliki rasa percaya diri (self-confidence) 
  4. Kurang memahami diri (self-understanding) 
  5. Kurang mendapat kepuasan dalam berhubungan sosial 
  6. Ketidakmatangan emosi 
  7. Kepribadiannya terganggu 
  8. Mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf (thorpe, dalam schneiders, 1964;61).





Daftar Pustaka:
-Syamsu, Yusuf. 2009. Mental Hygiene. Bandung: Maestro
-Brennan, James F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Sarlito.
-Moeljono, Notosoedirdjo. 2002. Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
-Dr. Kartini Kartono. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: CV. Mandar Maju
-Sarlito, Wirawan Sarwono. 1986. Pengantar Umum Psikologi. Bandung: PT. Bulan Bintang.
-Moeljono Notosoedirjo, Latipun. 2000. Kesehatan Mental. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

-Paludi, Michele A. 1998. The Psychology of Women. USA : Prentice-Hall, Inc.
-Williams, Juanita H. 1987. Psychology of Women. Behavior in a Biosocial Context. 3rd ed. USA : W.W. Norton & Company, Inc.
-Duane, Schultz. 2008. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanusius
-Papalia, E. Diane. Olds, Wendkos Sally. Feldman, Duskinj Ruth. 2009. Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.
-Hall, S. Calvin. Lindzey, Gardener. 2004. Teori-Teori Psikodiagnostik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
-Kholil, Rochman Lur. 2010. Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press.
-Baihaqi, MIF. 2008. Psikologi Pertumbuhan, Kepribadian Sehat Untuk Mengembangkan Optimisme. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
-A. Wiramiharja, Sutardjo. 2010. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.