Dalam semester 4 di jurusan Psikologi ini saya mendapat mata
kuliah Kesehatan Mental yang pengajarannya berupa softskill, serta dibimbing
oleh Henny Regina Salve, MPsi, Psi. atau yang lebih dikenal dengan Kak Egi.
Dalam pertemuan pertama, kami mendiskusikan apa itu kesehatan mental. Sehat?
Tidak sakit secara fisik, pikiran dan jiwa. Mental? Psikis atau jiwa. Jadi,
kesehatan mental adalah sehat secara psikis ataupun jiwa.
Berikut beberapa pengertian tentang kesehatan mental:
1. Hadfield:
”upaya memeliharaan mental yang sehat dan mencegah agar mentak tidak sakit”.
2. Alexander
Schneiders: ”suatu seni yang praktis dalam
mengembangkan dan menggunakan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan
mental dan penyesuaian diri, serta pencegahan dari gangguan-gangguan
psikologis”.
3. Carl
Witherington: ”ilmu pemeliharaan kesehatan
mental atau sistem tentang prinsip, metode, dan teknik dalam mengembangkan
mental yang sehat”.
4. Zakiah
Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang
sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya
sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan
untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental
sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi
positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung
jawab menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.
5. M.
Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan
mental mendefinisikan kesehatan mental adalah kondisi seseorang yang berkaitan
dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah
dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi
baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri
sendiri.
6. Sedangkan
menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Kesehatan
mental tertentang dari yang baik sampai dengan yang buruk, dan setiap orang
akan mengalaminya. tidak sedikit orang, pada waktu-waktu tertentu mengalami
masalah-masalah kesehatan mental selama rentang kehidupannya. Fungsi-fungsi
jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup harus
dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain sehingga dapat dikatakan
adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
Kategori
atau Penggolongan Kesehatan Mental
1.Gangguan Somatofarm
Gejalanya bersifat fisik, tetapi tidak terdapat dasar organic dan factor-faktor
psikologis.
2.Gangguan Disosiatif
Perubahan sementara fungsi-fungsi kesadaran, ingatan, atau identitas yang
disebabkan oleh masalah emosional.
3.Gangguan Psikoseksual
Termasuk masalah identitas seksual (impotent, ejakulasi, pramatang, frigiditas)
dan tujuan seksual.
4.Kondisi yang tidak dicantumkan sebagai gangguan jiwa.
Mencakup banyak masalah yang dihadapi orang-orang yang membutuhkan pertolongan
seperti perkawinan, kesulitan orang tua, perlakuan kejam pada anak.
5.Gangguan kepribadian
Pola prilaku maladaptik yang sudah menahun yang merupakan cara-cara yang tidak
dewasa dan tidak tepat dalam mengatasi stres atau pemecahan masalah.
6.Gangguan yang terlihat sejak bayi, masa kanak-kanak atau remaja.
Meliputi keterbelakangan mental, hiperaktif, emosi pada kanak-kanak, gangguan
dalam hal makan.
7.Gangguan jiwa organik
Terdapat gejala psikologis langsung terkait dengan luka pada otak atau
keabnormalan lingkungan biokimianya sebagai akibat dari usia tua dan lain-lain.
8.Gangguan penggunaan zat-zat
Penggunaan alkohol berlebihan, obat bius, anfetamin, kokain, dan obat-obatan
yang mengubah prilaku.
9.Gangguan Skisofrenik
Serangkaian gangguan yang dilandasi dengan hilangnya kontak dengan realitas,
sehingga pikiran, persepsi, dan prilaku kacau dan aneh.
10.Gangguan Paranoid
Gangguan yang ditandai dengan kecurigaan dan sifat permusuhan yang berlebihan
disertai perasaan yang dikejar-kejar.
11.Gangguan Afektif
Gangguan suasana hati (mood) yang normal, penderita mungkin mengalami depresi
yang berat, gembira yang abnormal, atau berganti antara saat gembira dan
depresi.
12.Gangguan Kecemasan
Gangguan dimana rasa cemas merupakan gejala utama atau rasa cemas dialami bila
individu tidak menghindari situasi-situasi tertentu yang ditakuti.
Konsep sehat beserta dimensinya
Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun
dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki
keluhan-keluhan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat
juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk adalah orang yang sehat dan
sebagainya”. Jadi factor subyektifitas dan cultural juga mempengaruhi pemahaman
dan pengertian orang terhadap konsep sehat.
Konsep sehat
menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk
dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara
menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu
diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu
penyakit dan kelainan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan
defenisi tentang sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat
didefenisikan sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang
berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang
dimiliki. Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan Sehat adalah keadaan
sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan.
Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu
dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini
kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan
sehat dan sakit tersebut terus terjadi secara bergantian dan manusia akan
memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit. Konsep sehat dan sakit
merupakan bahasa kita sehari-hari. Terjadi sepanjang sejarah manusia. Dikenal
oleh semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan
secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat
dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep sehat, World Health
Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan
yang sempurnan baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari
penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar
terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya
belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik
fisik, mental, maupun sosial.
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan
suatau keadaan ideal dari sisi biologis, psikologis, dan sosial. Kalau demikian
adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara
biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang
sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut
ada. Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan
kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama,
organo-biologik, psiko-edukatif dan sosial-budaya. Keempat dimensi holistik
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Agama/spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia
yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung
nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat
pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan
beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without
law).
b.Organo-biologik,
mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak),
yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang
kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai
bayi, dan seterusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia
lanjut.
c.Psiko-edukatif,
adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk
pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak
terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi
psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.
d.Sosial-budaya,
selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi
oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.
Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Sejarah kesehatan mental diawali oleh pendirian rumah sakit
mental pertama di AS tepatnya di Williamsburg, Virginia pada tahun 1773.
Setelah itu Dorothe Dix seorang pionir wanita yang berusaha berjuang untuk
merawat dan menyembuhkan penderita penyakit gila dan gannguan mental.
Dengan jasa-jasanya yang begitu banyak ia mengembangkan 32 rumah sakit di
Amerika Serikat pada tahun 1840. Selain Dix, ada salah satu tokoh lagi yang
cukup berjasa dalam kesehatan mental ini. Dialah Clifford Beers, ia pernah
mengalami sakit mental dan diperlakukan buruk karena penyakitnya
tersebut. Beers mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan
serta cara penyembuhan dalam rumah sakit tersebut. ia sering mendapat
pukulan-pukulan ataupun hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari
perawat-perawat yang kejam. Setelah dua tahun dirawat, Beers pun sembuh. Pada
tahun 1900, ia menjalankan aksi gerakan kesehatan mental dengan menerbitkan
buku yang berjudul "A Mind That Found itself". Pengalaman
pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan
pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian
menyusun satu program nasional, yang berisikan:
- Perbaikan dalam metode
pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.
- Kampanye memberikan
informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen dan lebih
human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan
mental.
- Memperbanyak riset untuk
menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan
terapi penyembuhannya.
- Memperbesar usaha-usaha
edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan
gangguan-gangguan emosi.
Pada tahun 1930 Public Healt Service (PHS) dari US
membentuk divisi narkotika,yang dinamakan divisi mental kebersihan. Mereka
bertujuan untuk menyatukan dan mengobati serta memerangi kecanduan narkoba dan
studi tentang prevelensi, penyebab, dan cara mencegah dan mengobati gugup dan
penyakit mental. Tahun 1952 ditemukan pertama kali obat psikotropika yaitu
Klorpromazin (Thorazine). berfungsi untuk memperbaiki kondisi konsumen dengan
psikosis dan delusi. Di banak kasus, Thorazine meringankan gejala halusinasi,
agitasi delusi dan gangguan pikiran.
Beberapa tahun setelah itu tepatnya 1988, konsep kesehatan perilaku dikelola
dari teori ke praktek. Massachusetts adalah negara bagian pertama yang
memanfaatkan platform manage care sebagai kebutuhan kesehatan perilaku.
Platform manage care didasarkan pada efisiensi dan efeksivitas dan berusaha
mengambil keuntungan dari teknologi yang bermunculan.
Akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan
sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah
organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909
berdirilah The National Committee for Mental Hygiene dan Beers sendiri duduk di
dalamnya hingga akhir hayatnya.
Bagaimana
pribadi seseorang dapat berkembang?
A. Sigmund Freud
Pandangan Freud terhadap
psikologi khususnya berkenaan dengan kepribadian manusia lebih didasarkan pada
ketidaksadaran dibandingkan dengan keadaan sadar atau unsur-unsur kesadaran
seperti para psikolog di abad ke-XIX. Freud menganggap bahwa kesadaran hanya
merupakan sebagian kecil saja dari pada seluruh kehidupan psikis. Freud
memisalkan psiche itu sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada diatas
permukaan air laut itu menggambarkan kesadaran ‘conscious’, sedangkan di bawah
permukaan air laut yang merupakan bagian terbesar menggambarkan ketidaksadaran
‘unconscious’. Dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar
yang mendorong pribadi (Suryabrata, 2002).
Freud juga menganggap
kepribadian sebagai produk dari masa kanak-kanak manusia. Dalam aspek-aspek
perkembangan kepribadian, Freud menekankan peranan yang menentukan dari
tahun-tahun awal masa bayi dan kanak-kanak dalam meletakkan struktur watak
dasar sang pribadi. Bagi Freud, kepribadian itu telah cukup terbentuk pada
akhir tahun kelima, dan bahwa perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya
merupakan penggabungan terhadap struktur dasar itu (Freud dalam Hall and
Lindzey, 1993).
A. Struktur Kepribadian
Freud (dalam Hall and Lindzey,
1993) membagi struktur kepribadian ke dalam tiga sistem pokok, yakni: id, ego,
dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari kepribadian total ini
mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanismenya
sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit
(tingkah laku hampir merupakan tidak mungkin) untuk memisah-misahkan
pengaruhnya dan menilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku manusia.
Tingkah laku hampir selalu merupakan produk dari interaksi diantara ketiga
sistem tersebut; jarang salah satu sistem berjalan terlepas dari kedua sistem
lainnya.
1. Id (The Id atau Das Es) disebut juga oleh Freud sebagai System der Unbewussten, merupakan sistem
kepribadian yang asli dalam kepribadian (Freud dalam Suryabrata, 2002). Id
merupakan lapisan psikis yang paling mendasar dan merupakan kawasan dimana Eros
dan Thanatos berkuasa. Disitu terdapat naluri bawaan, yakni seksual dan
agresif, serta keinginan yang direpresi (Freud dalam Bertens, 2006). Id juga
merupakan rahim tempat ego dan super ego berkembang. Id berisikan segala
sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir termasuk
insting-insting. Id merupakan reservoir energi psikis dan menyediakan seluruh
daya untuk menjalankan kedua sistem yang lain. Id berhubungan erat dengan
proses-proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya. Freud juga menyebut
id sebagai kenyataan psikis yang sebenarnya, karena id merepresentasikan dunia
batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif (Freud dalam
Hall and Lindzey, 1993). Id tidak bisa menanggulangi peningkatan energi yang
dialaminya sebagai keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena
itu, apabila tingkat tegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulasi
dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam maka id akan
bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan dan mengembalikan
organisme pada tingkat energi rendah dan konstan serta menyenangkan. Prinsip
reduksi tegangan yang merupakan ciri kerja id ini disebut prinsip kenikmatan
atau pleasure principle (Freud dalam
Hall and Lindzey, 1993).
Untuk melaksanakan tugas
menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki dua proses.
Kedua proses tersebut adalah tindakan refleks dan proses primer.
Tindakan-tindakan refleks adalah reaksi-reaksi otomatatik dan bawaan seperti
bersin dan berkedip, dan tindakan-tindakan refleks tersebut biasanya segera
mereduksikan tegangan. Organisme dilengkapi dengan sejumlah refleks semacam itu
untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan yang relatif sederhana. Sedangkan
proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis yang sedikit lebih rumit. Ia
berusaha menghentikan tegangan dengan membentuk khayalan tentang objek yang
dapat menghilangkan tegangan tersebut. Misalnya, proses primer menyediakan
khayalan tentang makanan kepada orang yang lapar. Pengalaman halusinatorik
dimana objek-objek yang diinginkan ini hadir dalam bentuk gambaran dan ingatan yang
disebut dengan pemenuhan hasrat (wish-fulfillment).
Contoh proses primer yang paling baik pada orang normal ialah mimpi di malam
hari, yang diyakini oleh Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha
pemenuhan suatu hasrat. Halusinasi dan penglihatan pasien psikotik atau
angan-angan sangat di warnai oleh pengaruh proses primer ini.
Gambaran-gambaran mentah yang bersifat memenuhi hasrat ini merupakan
satu-satunya kenyataan yang dikenal id (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Jelas, proses primer sendiri
tidak akan mampu mereduksikan tegangan. Orang yang lapar misalnya, ia tidak
dapat memakan khayalannya tentang makanan. Karena itu, suatu proses psikologis
baru atau sekunder berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur sistem
kedua kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
2. Ego (The Ego atau Das Ich) di sebut juga System der Beweussten-Vorbewussten. Aspek ini adalah aspek
psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk
berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan objektif (Freud dalam Suryabrata,
2002). Menurut Freud (dalam Bertens, 2006), ego terbentuk dengan diferensiasi
dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktifitas ego bersifat sadar,
prasadar, maupun tak sadar, namun sebagaian besar ego bersifat sadar, seperti
persepsi lahiriah, persepsi batin, dan proses-proses intelektual. Sedangkan
dalam aktifitas prasadar seperti fungsi ingatan, dan aktifitas tentang tak
sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms).
Ego dikatakan mengikuti prinsip
kenyataan atau prinsip realitas (Realitatsprinzip,
atau The Reality Principle), dan bereaksi mengikuti prinsip sekunder (Sekundar Vorgang atau Secondary Prosess). Tujuan prinsip
kenyataan atau realitas adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan
suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara prinsip
kenyatan atau realitas menunda prinsip kenikmatan, Meskipun prinsip kenikmatan
akhirnya terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dengan demikian
tegangan direduksikan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993 dan Suryabrata,
2002).
Proses sekunder adalah berfikir
realistik, dengan proses sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan
kebutuhan dan kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui suatu tindakan,
untuk melihat apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang lapar berfikir
dimana ia dapat menemukan makanan dan kemudian ia pergi ke tempat itu. Ini
disebut dengan pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego
mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual; proses-proses jiwa ini
dipakai untuk melayani proses sekunder (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Ego disebut juga eksekutif
kepribadian, karena ego mengontrol jalan-jalan yang ditempuh untuk memilih
kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya, serta
memilih objek-objek yang dapat memenuhi kebutuhan; didalam menjalankan
fungsinya ini seringkali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan
antara id dan superego dan dunia luar. (Freud dalam Suryabrata, 2002).
Namun harus diingat ego
merupakan bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan
id dan bukan untuk mengecewakannya, dan bahwa seluruh dayanya berasal dari id.
Ego tidak terpisah dari id dan tidak pernah bebas sama sekali dari id. Peran
utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan
kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya, dimana tujuan-tujuannya yang sangat
penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa
spesies dikembangbiakkan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
3. Superego (The Superego atau Dus Ueber Ich) adalah aspek
sosiologi kepribadian, yakni merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta
cita-cita masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua kepada anak-anaknya, dan
dilaksanakan dengan cara perintah dan larangan dan dengan memberikannya
hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman (Freud dalam Suryabrata, 2002 dan Hall and
Lindzey, 1993). Dengan kata lain, superego adalah buah hasil internalisasi,
sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu
yang asing bagi anak akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari anak
sendiri (Freud dalam Bertens, 2006). Superego adalah wewenang moral dari
kepribadian, superego mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, serta
memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian yang utamanya
adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian superego
dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil
masyarkat (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Superego sebagai wasit tingkah
laku yang diinternalisasikan bekembang dengan memberikan respon terhadap
hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan orangtua. Untuk memperoleh
hadiah-hadiah dan menghindari hukuman-hukuman, anak belajar mengarahkan tingkah
lakunya menurut garis-garis yang diletakkan orang tuanya. Apapun juga yang
mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung
menjadi suara hatinya (Conscience), yang merupakan salah satu dari dua
subsistem superego. Apapun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak karena
melakukannya, akan cenderung menjadi ego-ideal anak, yang merupakan subsistem
lain dari superego. Mekanisme yang menyebabkan penyatuan tersebut disebut
introyeksi. Anak menerima atau mengintroyeksikan norma-norma moral dari orang
tua. Suara hati menghukum orang dengan membuatnya merasa salah, ego-ideal
menghadiahi orang dengan membuatnya merasa bangga. Dengan terbentuknya superego
ini maka kontrol diri menggantikan kontrol orang tua (Freud dalam Hall and
Lindzey, 1993).
Jadi, aktifitas dari superego
menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dengan emosi-emosi
seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti
observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari superego. Bahkan menurut
Freud, kompleks oedipus memainkan peranan besar dalam pembentukan superego
(Freud dalam Bertens, 2006).
Fungsi-fungsi dari superego
adalah; (1) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan
agresif, karena inilah impuls-impuls yang pernyataannya sangat dikutuk oleh
masyarakat, (2) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan
tujuan-tujuan moralistis, (3) mengajarkan kesempurnaan. Jadi, superego
cenderung untuk menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya
sendiri. Akan tetapi superego sama seperti id bersifat tidak rasional dan sama
seperti ego, superego melaksanakan kontrol atas insting-insting. Tidak seperti
ego, superego tidak hanya menunda pemuasan insting, akan tetapi superego tetap
berusaha untuk merintanginya (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).
Mengakhiri deskripsi singkat
tentang tiga sistem kepribadian ini, perlu diingat bahwa struktur kepribadian
yakni id, ego, dan superego, bukanlah bagian-bagian yang menjalankan
kepribadian, melainkan merupakan sebuah nama dari sistem struktur dan proses
psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Biasanya sistem-sistem itu
bekerja bersama sebagai tim yang menyatu, dibawah arahan ego. Kepribadian biasanya
berfungsi sebagai suatu kesatuan dan bukan sebagai tiga bagian yang terpisah.
Secara sangat umum id bisa dipanang sebagai komponen biologis kepribadian,
sedangkan ego sebagai komponen psikologis dan superego sebagai komponen
sosialnya (Freud dalam Alwisol, 2008 dan Hall and Lindzey, 1993).
B. Erick H. Erikson
Erik Erikson adalah seorang
psikolog yang merumuskan teori tahap-tahap perkembangan kepribadian manusia
sesuai siklus hidupnya. Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik
Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi.
Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Erikson
memperhatikan pemikiran psikoanalisa dari Sigmund Freud dan pendekatan
antropologi budaya yang dikembangkan oleh Margaret Mead dan Franz Boas. Menurut
Erikson anak-anak dalam setiap sistem budaya akan belajar nilai yang berbeda,
tujuan yang berbeda, serta beragam pengasuhan. Pengaruh ini membentuk bagaimana
jiwa anak berkembang. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan
manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah
ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan
fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Oleh karena itu, teori Erikson
banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait
dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia. Teori itu juga
diaplikasikan langsung baik pada perempuan maupun laki-laki. Sayangnya
penerapan semacam ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan metodologis. Bila
kita berbicara mengenai masalah generalisasi teori, maka teori Erikson
seharusnya tidak digeneralisasikan secara universal. Apalagi menyangkut
permasalahan jenis kelamin, sangat tidak tepat jika kasus perempuan dibahas
dengan menggunakan teori Erikson.
Sebagian besar tahapan
perkembangan yang dikemukakan Erikson merupakan hipotesis belaka. Hanya
perkembangan masa kanak-kanak dan remaja yang didasarkan Erikson pada hasil
penelitiannya. Mengenai tahapan perkembangan masa kanak-kanak, ia melakukan
observasi terhadap anak-anak suku Sioux dan Yurok. Sedangkan mengenai remaja,
ia melakukan analisis terhadap kehidupan tiga remaja putra. Dari observasi dan
analisis itulah ia mengemukakan teorinya mengenai delapan tahap perkembangan
manusia dari lahir hingga lanjut usia, dalam buku pertamanya yang berjudul Childhood
and Society pada tahun 1964.
Gagasan Erikson mengenai delapan
tahap perkembangan manusia yang ditulisnya dalam buku tersebut banyak menerima
kritik.
Proses perkembangan kepribadian
menurut Erik Erikson adalah sebuah proses yang berlangsung sejak masa bayi
hingga usia lanjut. Proses perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor-faktor internal (dorongan dari dalam diri) tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dilingkungan dimana individu
tumbuh dan berkembang.
Menurut Erikson, dalam alih
bahasa Fransiska dkk. 2008, kepribadian (terutama focus Erikson pada identitas)
berkembang melalui 8 tahap yang saling berurutan sepanjang hidup.
Tahapan-tahapan yang dikemukakan
oleh Erikson ini menggunakan tahapan perkembangan psikoseksual Freud sebagai
dasar teorinya, hal ini terlihat dari lima tahapan pertama yang Erikson ajukan
memperlihatkan krisis ego yang sama dengan tahapan psikoanalitik Freud.
Dalam setiap tahapan, Erikson
percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik
dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada
perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas
itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan
potensi kegagalan
Tahap-tahap
perkembangan kepribadian menurut Erikson:
Tahap 1. Trust
vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
- Terjadi pada usia 0 s/d 18
bulan
- Tingkat pertama teori
perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu
tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
- Oleh karena bayi sangat
bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan
kualitas dari pengasuh kepada anak.
- Jika anak berhasil membangun
kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang
tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat
mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan
dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan
kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy)
VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi pada usia
18 bulan s/d 3 tahun
- Tingkat ke dua dari teori
perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak
dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
- Seperti Freud, Erikson percaya
bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam
proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson
percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa
kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
- Kejadian-kejadian penting lain
meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan,
mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
- Anak yang berhasil melewati
tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak
berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif
(Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
- Terjadi pada usia 3 s/d 5
tahun.
- Selama masa usia prasekolah
mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan
langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena
menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan
bertujuan.
- Anak yang berhasil dalam tahap
ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya
peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
- Mereka yang gagal mencapai
tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang
inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila
anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
- Erikson yakin bahwa kebanyakan
rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry
vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
- Terjadi pada usia 6 s/d
pubertas.
- Melalui interaksi sosial, anak
mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan
mereka.
- Anak yang didukung dan
diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya
dengan ketrampilan yang dimilikinya.
- Anak yang menerima sedikit atau
tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan
merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
- Prakarsa yang dicapai
sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman
baru.
- Ketika beralih ke masa
pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju
penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
- Permasalahan yang dapat timbul
pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan
tidak berkompeten dan tidak produktif.
- Erikson yakin bahwa guru
memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity
vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
- Terjadi pada masa remaja, yakni
usia 10 s/d 20 tahun
- Selama remaja ia mengekplorasi
kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
- Anak dihadapkan dengan penemuan
siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam
kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
- Anak dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme,
misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan
jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
- Jika remaja menjajaki
peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti
dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
- Jika suatu identitas remaja
ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak
peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan
identitas merajalela.
- Namun bagi mereka yang menerima
dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri
dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
- Bagi mereka yang tidak yakin
terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan
bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy
vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
- Terjadi selama masa dewasa awal
(20an s/d 30an tahun)
- Erikson percaya tahap ini
penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain.
- Mereka yang berhasil di tahap
ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
- Erikson percaya bahwa identitas
personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim.
Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan
diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan
dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
- Jika mengalami kegagalan, maka
akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity
vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
- Terjadi selama masa pertengahan
dewasa (40an s/d 50an tahun).
- Selama masa ini, mereka
melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
- Mereka yang berhasil dalam
tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia
dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
- Mereka yang gagal melalui tahap
ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity
vs depair (integritas vs putus asa)
- Terjadi selama masa akhir
dewasa (60an tahun)
- Selama fase ini cenderung
melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
- Mereka yang tidak berhasil pada
fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak
penyesalan.
- Individu akan merasa kepahitan
hidup dan putus asa
- Mereka yang berhasil melewati
tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang
pernah dialami.
- Individu ini akan mencapai
kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Kepribadian Sehat
Kesehatan mental
merupakan faktor terpenting untuk menjalankan kehidupan manusia secara normal.
Psikis manusia jika tidak dijaga akan menimbulkan suatu gangguan jiwa yang
lambat laun bila dibiarkan akan menjadi suatu beban yang berat bagi
penderitanya.
Individu yang
sehat mentalnya adalah yang mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya, dalam
kegiatan-kegiatan yang positif dan konstruktif bagi pengembangan kualitas dirinya.
pemanfaatan itu seperti dalam kegiatan-kegiatan belajar (dirumah, sekolah atau
dilingkungan masyarakat), bekerja, berorganisasi, pengembangan hobi, dan
berolahraga.
Orang yang sehat mentalnya menampilkan perilaku atau
respon-responnya terhadap situasi dalam memenuhi kebutuhannya, memberikan
dampak yang positif bagi dirinya dan atau orang lain. dia mempunyai prinsip
bahwa tidak mengorbankan hak orang lain demi kepentingan dirnya sendiri di atas
kerugian orang lain. Segala aktivitasnya di tujukan untuk mencapai kebahagiaan
bersama.
Karakteristik
pribadi yang sehat mentalnya juga dijelaskan pada tabel sebagai berikut (Syamsu
Yusuf LN ; 1987).
ASPEK
PRIBADI
|
KARAKTERISTIK
|
Fisik
|
Perkembangannya
normal.
Berfungsi
untuk melakukan tugas-tugasnya.
Sehat,
tidak sakit-sakitan.
|
Psikis
|
Respek
terhadap diri sendiri dan orang lain.
Memiliki
Insight dan rasa humor.
Memiliki
respons emosional yang wajar.
Mampu
berpikir realistik dan objektif.
Terhindar
dari gangguan-gangguan psikologis.
Bersifat
kreatif dan inovatif.
Bersifat
terbuka dan fleksibel, tidak difensif.
Memiliki
perasaan bebas untuk memilih, menyatakan pendapat dan bertindak.
|
Sosial
|
Memiliki
perasaan empati dan rasa kasih sayang (affection) terhadap orang lain, serta
senang untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan
pertolongan (sikap alturis).
Mampu
berhubungan dengan orang lain secara sehat, penuh cinta kasih dan
persahabatan.
Bersifat
toleran dan mau menerima tanpa memandang kelas sosial, tingkat pendidikan,
politik, agama, suku, ras, atau warna kulit.
|
Moral-Religius
|
Beriman
kepada Allah, dan taat mengamalkan ajaran-Nya.
Jujur,
amanah (bertanggung jawab), dan ikhlas dalam beramal.
|
Uraian diatas, menunjukan ciri-ciri mental yang sehat,
sedangkan yang tidak sehat cirinya sebagai berikut :
- Perasaan tidak nyaman (inadequacy)
- Perasaan tidak aman (insecurity)
- Kurang memiliki rasa percaya diri
(self-confidence)
- Kurang memahami diri (self-understanding)
- Kurang mendapat kepuasan dalam berhubungan sosial
- Ketidakmatangan emosi
- Kepribadiannya terganggu
- Mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf
(thorpe, dalam schneiders, 1964;61).
Daftar Pustaka:
-Syamsu, Yusuf. 2009. Mental
Hygiene. Bandung: Maestro
-Brennan, James F. 2006. Sejarah
dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Sarlito.
-Moeljono,
Notosoedirdjo. 2002. Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.
-Dr.
Kartini Kartono. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam.
Bandung: CV. Mandar Maju
-Sarlito,
Wirawan Sarwono. 1986. Pengantar Umum Psikologi. Bandung: PT. Bulan
Bintang.
-Moeljono
Notosoedirjo, Latipun. 2000. Kesehatan Mental. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang
-Paludi, Michele A. 1998. The
Psychology of Women. USA : Prentice-Hall, Inc.
-Williams, Juanita H. 1987. Psychology
of Women. Behavior in a Biosocial Context. 3rd ed. USA : W.W. Norton &
Company, Inc.
-Duane,
Schultz. 2008. Psikologi Pertumbuhan:
Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanusius
-Papalia,
E. Diane. Olds, Wendkos Sally. Feldman, Duskinj Ruth. 2009. Human Development. Jakarta: Salemba
Humanika.
-Hall,
S. Calvin. Lindzey, Gardener. 2004. Teori-Teori
Psikodiagnostik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
-Kholil,
Rochman Lur. 2010. Kesehatan Mental.
Purwokerto: Fajar Media Press.
-Baihaqi, MIF. 2008. Psikologi
Pertumbuhan, Kepribadian Sehat Untuk Mengembangkan Optimisme. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
-A.
Wiramiharja, Sutardjo. 2010. Pengantar
Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.