Pacarnya
kok
‘sama’?
Cewek pacaran sama cewek
cowok pacaran
sama cowok
Kenapa bisa
gitu, ya?
Homoseksualitas obrolan yang memang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Semakin hari, makin banyak orang yang terbuka
dan mengakui dirinya adalah seorang homoseksual. Meski banyak yang mulai
terbiasa dengan keberadaan mereka, tapi ada juga yang tetap penasaran dengan
pilihan yang diambil oleh kaum homoseksual. Kenapa sih bisa jatuh cinta sama
sesama jenis? Hmm
Apa sih homoseksual?
Terminology atau
definisi homoseksual tidak hanya diberlakukan buat cowok, sebenernya cewek yang
hanya serr atau merasakan ketertarikan terhadap sesamanya juga termasuk dalam
kategori homoseksual, tetapi di masyarakat umum istilah lesbianisme lebih
dikenal untuk cewek yang suka sama cewek. Padahal arti Homo sendiri berarti
sama, sejenis atau satu golongan.
Berarti homoseksual adalah orang yang merasakan atau hanya tertarik dengan jenis kelamin yang sama, kalo cewek suka sama cewek, sedangkan cowok suka sama cowok juga.
Berarti homoseksual adalah orang yang merasakan atau hanya tertarik dengan jenis kelamin yang sama, kalo cewek suka sama cewek, sedangkan cowok suka sama cowok juga.
Lesbianisme
Lesbianisme dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai deviasi seksual, misalnya yang dilakukan di asrama-asrama putri atau rumah penjara, karena keadaan yang mendorong pelaku-pelakunya untuk berbuat demikian. Dalam keadaan normal mereka tidak melakukannya lagi. Dan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan lesbian pasif dan dapat terikat dalam pernikahan. Namun demikian banyak di antara mereka yang menunjukkan sikap dingin (frigid) dalam hubungan heteroseksual (perempuan-lelaki). Lesbian yang aktif tidak akan menikah, akan tetapi hanya pasangan yang sejenis kelaminnya saja. Frekuensi lesbianisme cukup tinggi, menurut Jeffcoate kira-kira 25% dan menurut Kinsey dkk kira-kira mencapai 28%.
Lesbianisme dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai deviasi seksual, misalnya yang dilakukan di asrama-asrama putri atau rumah penjara, karena keadaan yang mendorong pelaku-pelakunya untuk berbuat demikian. Dalam keadaan normal mereka tidak melakukannya lagi. Dan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan lesbian pasif dan dapat terikat dalam pernikahan. Namun demikian banyak di antara mereka yang menunjukkan sikap dingin (frigid) dalam hubungan heteroseksual (perempuan-lelaki). Lesbian yang aktif tidak akan menikah, akan tetapi hanya pasangan yang sejenis kelaminnya saja. Frekuensi lesbianisme cukup tinggi, menurut Jeffcoate kira-kira 25% dan menurut Kinsey dkk kira-kira mencapai 28%.
Homoseksualitas pria (kaum gay)
Apa yang
diuraikan bagi lesbianisme berlaku pula bagi homoseksualitas pada pasangan pria
dengan pria. Cara pemuasan seksual sedikit berbeda, dimana seorang pria
homoseksual dapat mencari obyek mangsanya di antara pria-pria yang tidak
bertendensi homoseksual, bahkan di antaranya anak-anak dibawah umur, dengan
rayuan-rayuan, janji-janji dan imbalan-imbalan material. Di antara mereka ada
yang memutuskan untuk menikah (cara ini ditempuh untuk menghindarkan imej
negatif masyarakat pada dirinya) dan dikaruniai beberapa anak dan kemudian
keinginannya untuk memuaskan diri secara homoseksual hilang. Akan tetapi ada
pula di antara mereka yang secara tersembunyi masih melakukan hubungan
homoseksual. Karena pada dasarnya mereka termasuk dalam biseksual. Sering
mereka menunjukkan gejala-gejala transvitisme, yaitu mengenakan pakaian wanita
atau bermasturbasi sambil mengkhayalkan sedang bermesraan dengan seorang pria.
Penyebabnya macam-macam
Kalau mau cari tahu
seseorang bisa suka sama sesama jenis, jawabannya bisa sangat beragam. Ada yang
diakibatkan faktor mutasi genetika alias bawaan dari lahir yang susah untuk
dihindari. Ada yang karena faktor sosial, seperti pada mereka yang cuma
ikut-ikutan tren. Ada juga ahli yang bilang kalau homoseksualitas bisa
disebabkan oleh factor psikologis, seperti karena patah hati atau pengalaman
traumatic saat masih kecil. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap
homoseksualitas, bisa berbeda-beda pada tiap orang. Karena itu, menurut Danny
Irawan Yatim, psikolog dari UNIKA Atma Jaya, penyebabnya nggak bisa dipandang
dari satu sisi. Soalnya dipengaruhi baik oleh faktor bawaan (biologis) dan juga
faktor lingkungan, seperti pola asuh, budaya, sampai penerimaan masyarakat.
Buat tiap orang penyebabnya memang nggak sama.
Kadarnya juga bervariasi
Awalnya, para ahli
mengelompokkan homoseksual sebagai penyakit. Namun, pada tahun 1973, para
dokter dan psikolog mencoret homoseksual dari daftar penyakit kejiwaan dan
memasukkannya sebagai bagian dari orientasi seksual seseorang. Homoseksualitas
selain nggak menular, juga nggak bisa dilihat hanya dari sisi fisiknya saja.
Misalnya, nggak semua cewek tomboy itu lesbian atau semua cowok feminine adalah
gay. Banyak juga kok cewek girly yang
homoseksual. Sebaliknya, ada juga cewek tomboy yang heteroseksual. Bicara
tentang orientasi seksual, tiap orang ternyata punya ‘tingkatan’ orientasi yang
berbeda-beda. Seorang peneliti seksual, Alfred Kinsey, bilang kalau orientasi
seksual tuh nggak cuma terdiri dari homoseksual ‘murni’ dan heteroseksual
‘murni’ saja. Karena di antara kedua ‘titik kemurnian’ ini, ada beberapa titik
lain yang saling berpengaruh. Makanya kadang ada heteroseksual yang sering
berfantasi pacaran dengan teman sesame jenis. Sebaliknya, ada juga homoseksual
yang punya pacar heteroseksual (biasa disebut biseksual).
Buat kita yang masih asyik
mencari identitas diri, ‘posisi’ orientasi seksual ini ternyata masih terus
berkembang. Karena itu, kalau kita ketemu teman yang kayaknya suka sesama
jenis, kita nggak bisa buru-buru men-judge
dia sebagai homoseksual ‘murni’. “Umumnya, seksualitas itu baru benar-benar
‘mantap’ di usia 19 tahunan. Tapi sangat bervariasi buat tiap orang. Yang baru
yakin dengan seksualitasnya setelah berumur 30 tahun juga ada,” jelas Danny
lagi.
Susahnya coming out
Coming out adalah istilah untuk proses ketika seseorang sudah berani
untuk mengakui dirinya homoseksual. Menurut Richard Niolon,Ph.D., proses coming out terdiri dari 5 tahap. Yang
pertama adalah ketika ia baru mulai merasa dirinya homoseksual (biasanya di
masa remaja). Lalu tahap berikutnya adalah ketika ia mulai terbuka dan berani
curhat kepada orang lain, kayak sahabat atau konselor. Di dua tahap ini,
biasanya muncul rasa bersalah yang besar karena pengaruh imej yang dibentuk
oleh lingkungan.
Nah, tahap selanjutnya
adalah bergaul dengan homoseksual lain, yang kemudian diikuti oleh tahap
penilaian diri secara positif. Jika seseorang sudah sampai ke tahap ini, maka
ia akan lebih mudah memasuki tahapan yang terakhir, yaitu penerimaan diri
secara penuh. Namun, untuk berada di tahapan terakhir ini nggak mudah buat
mereka. Apalagi banyak orang yang masih sering menganggap negatif keberadaan
homoseksual. Akhirnya banyak kaum homoseksual merasa rendah diri dan membenci
keadaan dirinya.
Tanpa sadar, mungkin kita
pun mulai men-judge para homoseksual
secara sepihak. Padahal itu artinya kita sedang menyakiti perasaan mereka dan
bikin proses coming out mereka
menjadi semakin sulit. Bahkan, menurut Danny, ada penelitian yang bilang kalau
sebagian besar masalah kejiwaan (klinis) yang dihadapi para homoseksual
disebabkan oleh besarnya tekanan sosial dari masyarakat, yang membuat mereka
menjadi stres dan terbebani.
Ini pilihan mereka
Di negara kita,
homoseksualitas masih dianggap sesuatu yang ‘tabu’ dan belum bisa diterima
dengan tangan terbuka. Namun bagaimanapun juga, orientasi seksual adalah
masalah pilihan. “It’s like another
choices. Sama seperti kalau kita memilih masuk jurusan IPA atau IPS.
Keduanya pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan buat diri kita. Jika kita
akhirnya memilih suatu ‘jurusan’, kita harus bisa menanggung resikonya. Dan
kita pun harus bisa menghormati orang-orang yang memilih ‘jurusan’ yang berbeda
dengan kita,” jelas Ninuk Widyantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan
Perempuan.
Kita tetap harus menghargai
seseorang apa adanya, bukan karena orientasi seksualnya. “Nilai seseorang
berdasarkan pribadinya, sehingga kita akan sadar kalau para homoseksual sama
saja dengan kita. Rasa cinta mereka terhadap sesama jenis pun sama dengan yang
dirasakan heteroseksual terhadap lawan jenis. Dan, sekali lagi, itu merupakan
pilihan,” kata Ninuk lagi.
Rahasia BESAR-ku
Ini salah satu
contoh kasus homoseksualitas yang dengan gamblangnya menceritakan masalah
kepribadiannya. Check it out.
Nama gue
Imelda Taurina Mandala. Gue seorang fotografer yang punya rahasia besar yang ingin
gue bagi. Rahasia ini, sudah gue pendam sejak kelas 3 SD, saat gue menyadari
bahwa gue suka sama sesama cewek. Terus terang, waktu itu gue belum tahu kalau
perasaan suka yang gue rasakan itu berbeda dengan rasa sayang sama ortu atau
orang lain. Baru sekitar SMP gue tahu ada istilah lesbian (homoseksual) dan
artinya sangat negatif.
Gue baru mengenal istilah
itu dari kakak gue yang sering ngeledekin gue lesbian. Mungkin karena
penampilan gue yang tomboy ini, ya. Saat itu gue marah sekaligus takut banget karena
sebutan itu rasanya bikin gue serasa orang yang paling berdosa dan bersalah
sedunia. Selain itu, gue takut hal-hal buruk yang dapat menimpa gue kalau
sampai berani jujur. Gue nggak bisa ngebayangin respon ortu gue, mereka pasti shock
kalau tahu ada anak ceweknya yang lesbian!
Karena itu,
gue minyimpannya rapat-rapat. Padahal saat itu, gue juga merasa bingung banget
dengan diri sendiri dan parahnya gue nggak bisa minta bantuan ke siapapun.
Kadang gue menangis diam-diam, saking bingungnya. Gue bahkan nggak menceritakan
‘rahasia’ ini sama sobat terdekat gue. Dan hal ini semakin bikin gue menderita,
karena gue nggak bisa menjadi diri gue yang sebenarnya. I feel like cheating myself… dan itu rasanya sakit banget.
Di sekolah gue tetap
bungkam, walaupun semakin banyak orang yang curiga bahkan menuduh gue lesbian
karena gue selalu mengelak kalu ngomongin cowok. Pernah ketika gue ikut acara
keagamaan di sekolah, nggak ada satu pun teman cewek yang mau sekamar sama gue!
Gilak, rasanya sakit banget sampai bikin gue mau nangis. Untungnya, ada satu temen
cewek gue yang nggak percaya gosip dan mau sekamar sama gue. Gue belajar arti
sahabat sejati dari dia dan dia tetap jadi sobat baik gue walaupun akhirnya dia
tahu rahasia gue yang sesungguhnya.
Gue akhirnya
memilih untuk coming out karena gue
nggak mau lagi hidup dalam ketakutan dan membohongi diri sendiri. Orang yang
pertama gue beritahu adalah teman sekelas gue itu dan thank God dia bisa menerimanya dengan baik dan tetap mau sobatan
sama gue. Wah, lega banget rasanya…
Tapi, proses ini nggak
segampang yang gue kira lho. Masih banyak masalah yang harus gue hadapi. Gue
harus menghadapi penolakan dari keluarga, bahkan nyokap sampai mengancam mau
bunuh diri dan minta gue berubah. Begitu pula dengan lingkungan sekitar gue
karena masyarakat kita masih sering salah sangka tentang lesbian dan selalu
mengaitkannya dengan free sex, drugs,
AIDS dan sebagainya. Padahal, kenyatannya nggak begitu!
Kita memang cenderung takut
terhadap hal-hal yang nggak kita kenal dan ketahui. Makanya, gue selalu terbuka
kalau ada teman, pihak keluarga atau lingkungan lain yang ingin menyampaikan
uneg-uneg mereka tentang lesbian atau ngobrol sama gue biar nggak salah paham.
Karena menurut gue, kita harus menghargai semua orang, tanpa memedulikan harta,
jabatan, suku, agama ataupun pilihan hidup yang ia ambil dan percayai.
No comments:
Post a Comment